Surat dari Semi dan Wiji

Pendidikan bagi anak-anak kita adalah penyertaan.
Jangan tinggalkan mereka sendiri,
karena kepada mereka jalan masih perlu ditunjukkan;
namun juga jangan manjakan mereka,
Karena memanjakan membuat mereka mati dan kehilangan daya hidup
Dan bila waktunya tiba,
biarkan mereka menemukan jalan mereka menjadi rusa dewasa
melonjak dan berlari menuju Allah dan kehidupan
* * *

Perkenalkan, namaku Semi. Demikian orangtuaku memanggil, anak perempuan mereka. Mereka bilang, namaku berarti tunas, harapan masa depan mereka. Usiaku empat belas tahun, tepatnya empat belas tahun kurang tiga hari. Aku adalah anak kedua bapak dan ibuku
Aku punya satu adik laki-laki, namanya Wiji. Usianya enam sete-ngah tahun. Dia adikku satu-satunya. Anaknya nakal, suka menarik-narik rambutku. Tapi, aku sayang padanya, karena dia lucu. Ibu bilang, adikku diberi nama Wiji karena ia seperti benih, yang siap tumbuh dan bertunas. Wah, kalau nanti sudah jadi tunas, apa namanya juga jadi mirip namaku ya...?kan aneh, masak anak laki-laki namanya semi...

Oya, aku juga punya seorang kakak. Namanya mas Heru. Kakak cerita namanya diambil dari kata jawa hèr yang artinya air, dan Kawruh yang artinya pengetahuan. Lalu, biar jadi nama yang tidak aneh, jadilah namanya Heru, atau mas Heru. Demikian aku memanggilnya.
Ehmm... ini suratku pada mereka.
Untuk Bapak, Ibu, dan Kakak sekalian,
Bapak, ibu, dan kakak sekalian, terimakasih atas segala perhatian yang kalian berikan untuk kami berdua selama ini. Sebulan yang lalu kalian mengantar kami masuk sekolah asrama ini. Aku masih ingat perjalanan itu. Aku gembira mengingat perjalanan kita melintasi sawah di seberang kampung. Sambil berjalan, bapak bilang ‘nduk, bapak minta maaf tidak bisa nganter kalian naik angkot. Bapak ndak punya duitnya.’ Bapak, aku sungguh tidak merasa keberatan. Aku senang dengan perjalanan itu. Aku rindu kalian.
Bapak, aku yakin, kalau kalian mau mengantar Wiji dan Semi buat masuk sekolah asrama, itu sudah menunjukkan kalian sayang pada kami. Aku yakin, kalau bapak punya duit, pasti bapak mengajak kami naik angkot ke sini. Kalian menemani kami. Itu yang penting. Kalian memberi pelajaran pada kami bahwa hal baik harus diutamakan, meski kami sempat lelah, atau mengeluh. Kadang kalian menggendong kami, tapi tidak kalian biarkan kami terbuai. Kami tetap kauminta berjalan.
Aku tahu, kalian ingin aku belajar tidak menyerah. Oleh karena itu, kalian kadang menolak untuk menggendong kami, sekeras apapun kami merengek. Namun, kalian ingin juga kami sekaligus mengerti bahwa cinta selalu ada bersama kami, dengan permen asem yang kalian berikan sebagai penghilang haus kami.
Kemarin dik Wiji bilang ingin seperti ibu, karena ibu selalu menggendongnya kalau ia merengek kecapekan. Semi bilang tidak mungkin, karena Wiji itu anak laki-laki, sementara ibu perempuan. Tapi, Wiji tetap saja ngeyel. Ibu, kadang akupun merasa cemburu, karena ibu memperhatikan Wiji daripada aku. Tapi entah kenapa, aku juga tahu memang aku seharusnya menerima. Kan dia lebih kecil dari aku.
Oya, kakak, Semi masih ingat kata-kata kakak, waktu kalian hendak pulang dari asrama ini. Kakak bilang agar Semi patuh sama Suster Nien yang menerima kami. Kakak pesan agar Semi dan Wiji belajar sungguh-sungguh. Biar bisa lebih pandai dari Kakak. Tapi bagaimana mungkin aku bisa mengalahkan kakak buat mencangkul ladang atau memerah susu sapi. Di asrama kan tidak ada ladang dan sapi ! hanya ada seekor babi betina dan sepuluh anak mungilnya. Kak, kasian babi jantannya, sudah disembelih buat mengisi perut kami.
Kakak, Ibu, Bapak... Di asrama Semi diajari membaca dan menulis. Oya, kami juga diajari berdoa. Tapi sering ngantuk. Habis, doanya lama. Tolong jangan bilang Suster Nien ya! Nanti Semi disuruh melipat selimut seluruh teman sekamar.
Aduuhh, Semi masih pengen nulis lagi, tapi Suster bilang Semi harus cepat tidur, biar besok tidak bangun kesiangan. Jadi, nulisnya harus cepat selesai. Semi harap keluarga di rumah tidak khawatir. Karena meskipun kadang bosan dan capek, Semi senang di sini. Apalagi Wiji, tiap hari kerjaannya mencari Jangkrik sama teman-temannya tentu sehabis pelajaran membacanya selesai.
Semi juga janji ndak akan malas, apalagi merengek minta pulang. Semi yakin, Ibu, Bapak dan Kakak selalu mendoakan Semi dan Wiji. Biar kami jadi anak-anak yang baik dan pinter. Apalagi, kalau Semi atau Wiji kangen rumah, pasti Suster Nien, atau Suster yang lain menghibur kami. Bercerita kalau Bapak, Ibu di rumah berdoa selalu buat kami. Eh...Kakak Juga lho, hehehe...
Bapak, Ibu, Kakak, yang baik, Semi nulis suratnya sudah dulu ya. Kapan-kapan lagi Semi teruskan. Oya, Wiji Bilang, kalau nanti sudah bisa nulis sendiri, pengen ikutan nulis surat buat orang rumah. Udah dulu ya, malam ini kami mau doa di depan Patung Keluarga Kudus. Jadi Yesusnya masih kecil, masih digendong. Tapi ada juga patung Tuhan Yesus yang sudah besar. Semi jadi inget sama Bapak, Ibu, dan kakak lagi....
Wiji dan Semi
(Romo Julius Purnomo, Pr)

0 comments:

Post a Comment