Suatu ketika bersama semi dan wiji.....

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati,
ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.
(Yoh. 12:24)
Gemericik air terdengar di kalèn kecil di depan gedung sederhana bercat putih. Sungai itu mengalir dari sumber air, jauh di belakang gedung sederhana itu, melewati samping selatan gedungnya, dan memotong halaman gedung itu menuju kali besar yang menjadi batas halamannya. Gedung itu memang disebut 'Rumah Putih' oleh segenap penghuni asrama tersebut.

Di halaman yang lumayan luas, nampak banyak anak-anak, laki-laki dan perempuan bermain berkelompok-kelompok. Sejumlah besar anak laki-laki mendominasi halaman yang lumayan luas itu. Mereka sedang bermain bola sepak. Suara mereka riuh menawarkan semangat dan kemeriahan pertandingan. “YON !! YON.., OPER YON …!!”, “TENDANG…TUENDAANG!”, “..CEPAT… CEPAT … GOOLL !!”, dan kegiranganlah anak-anak regu yang menang.
Sementara itu, di beranda Rumah Putih, nampak beberapa orang suster duduk sambil bercanda bersama beberapa gadis cilik yang ada di sekitar mereka. Beberapa anak perempuan sedang sibuk memasang pita pada boneka yang mereka pegang
“Huaa….., Aduhh…..”, seorang anak laki-laki terduduk di tengah halaman, tempat berlangsung pertandingan bola tadi. Kedua tangannya memegang kaki kanannya. Tangisannya keras sekali. Sementara itu, teman-temannya yang lain datang mengerumuninya.
Seorang anak perempuan yang tadinya duduk bersama para suster di beranda berlari mendatangi kerumunan tersebut. “ Wiji kenapa…?” sapanya, “ …kamu nangis kenapa…?” anak perempuan itu berjongkok di samping Wiji.
“Kak Semi, Nanang nakal… huaa…, kaki wiji ditendang..” Wiji mengadu, “ huu… nih, sampe bengkak…huu….”. “Awas..huu.. ya Nanang..huu..nanti tidak a..a..ku pinjami jangkrik punyaku..huu.. !!” gerutu si Wiji sambil nangis sesenggukan.
“Eh… Wiji tidak boleh begitu !! Ndak baik.”, tiba-tiba terdengar suara laki-laki muda dari luar lingkaran kerumunan itu. “Huaa.. Mas Heru.., Nanang nakal, huhuhu…”, “Awas ya nanang, Ka….ka..kakku datang, huu…!”, “biar dibalas kamu nanti..”, masih saja si Wiji menggerutu.
“Ayo, sudah, sudah. Bubar dulu mainnya!”,”Sudah sore ini.., mandi dulu semua!”, Seorang Suster membuyarkan kerumunan tersebut. “Mas Heru juga, tolong ajak Semi sama Wiji ya”, pinta Suster itu. “Inggih Suster.”, sahut Heru. Ketiga kakak beradik Wiji, Semi, dan Heru pun beranjak menuju ke teras Rumah Putih itu.
“Kaki Wiji masih sakit?”, Heru bertanya kepada adik bungsunya itu. “ Masih mas. Sedikit.”, sahut si adik, “Awas nanti si nanang!”,”Kusembunyikan nanti dolanan montor jeruknya!”. Mendengar kata-kata adiknya Heru mengernyit, “Eh.. ndak boleh itu,ndak baik! Masak Wiji mau balas dendam seperti itu!?”
“Lha nanangnya yang nakal kok mas…!!”, Wiji mbengok memprotes. “Tapi ya jangan suka mbales dendam ya mas ya, Suster bilang balas dendam ngga baik!”, Semi menimpali kata-kata adiknya.
Heru manthuk-manthuk mendengar kata-kata Semi. “tuh, dengerin mbak Semi. Bener dia lé.” Wiji merengut memandang kakak perempuannya, “Ah…, mbak Semi ndak 'bala' sama aku!”, “Mas Heru juga ndak bala sama aku.”
Tiga kakak beradik itu tiba di beranda. Heru mengajak dua adiknya duduk di bangku yang ada di sana. “Sini lé, mas Heru mau ngomong sama kamu.”, masih dengan merengut Wiji nglémprak di lantai teras. “Wiji tadi lagi maen apa waktu nangis?”, Heru bertanya. “Ya bal-balan”, jawab Wiji singkat. Heru tersenyum, lalu berkata, “nah, kalau bal-balan itu kan permainan. Kadang-kadang, waktu kita maen seperti itu, kejadian deh apa yang nggak kita pengen.”, “ya seperti tadi, kamu kegaprak sama nanang.”.
“Pemain bola yang kamu suka siapa lé?”, “Ronaldino mas! Maennya pinter.”, kata Wiji sambil menirukan gaya pemain idolanya menggocek bola. Heru Tertawa, lalu berkata, “ya..ya.., kamu sudah mirip Ronaldino,”, ”Nah, Ronaldino kan juga pernah gaprakan kaya kamu tadi to?”, Wiji menjawab, “lha iya..”.
Heru kemudian berkata, “nah, yang namanya maen bola, pasti suatu saat kita kena gaprak sama musuh. Wong namanya saja rebutan bola.”, “tapi mas yakin, kalo Ronaldino itu ngga bakalan marah-marah sampai mau balas dendam.”, Heru melanjutkan. “kalau dino mau mbales, nanti bisa kena kartu merah, lha, malah ngga bisa maen lagi. Iya apa nggak?”. Wiji hanya mangguk-mangguk. “Lé, Ronaldino itu orang yang pinter maen bola, jadi, kalau dia tidak dilanggar, sulit orang ngerebut bola dari dia.”, “jadi, kalau orang harus berbuat kasar buat merebut bola, bukan berarti dia jahat sama kita. Tapi kita bisa menilai, mungkin kita terlalu baik buat dia, jadi cara ngrebut bolanya harus dipaksa. Paham kamu ji?”, “iya, ya mas.., jadi Wiji memang kaya ronadino ya mas?, sahut Wiji. Heru tersenyum, sambil tertawa, “iya..iya.., tapi kalo kamu jadi ronaldino ya jangan mudah marah, apalagi balas dendam!”. “ya wis mas. Tapi Wiji malu mau ngomong sama Nanang. Trus piye mas?”, wiji balik bertanya. Jawab Heru, “ya terserah kamu. Lha kamu kan temennya.”, Wiji nampak berfikir sejenak, “biar nanti jangkrikku kukasih dia saja ya mas.”, jawab Heru, “ya, boleh. Yang penting Wiji ngga boleh gampang marah kaya gitu lagi lho ya!”. “Iya deh mas.”, jawab Wiji. “Ya sudah, sana mandi. Nanti kena marah suster. Mas Heru nunggu di sini ya.”, kata Heru. Wijipun mangguk dan segera berlari masuk ruangan asrama.
Heru diam di teras, pikirannya mengawang, “ahh.., masih kecil adikku. Perlu banyak belajar tentang hidup. Belajar mematikan egoisme, karena dengan ego, banyak hal tidak akan menjadi lebih baik. Kekecewaan, kesedihan, atau rasa sakit kadang menjadi bagian yang selalu ada. Ia mesti belajar melewatinya tanpa menjadi kalah kepada kemarahan, atau menjadi mudah menyerah.”(MoPoer)

i.mobil mainan dari kulit jeruk
ii.maksudnya Ronaldhinho,pemain AC milan

0 comments:

Post a Comment